Adu Panas Elon Musk vs Gedung Putih Soal Tarif dan Tesla: Siapa yang Lebih “Amerika”?

Ketegangan antara kebijakan politik dan industri otomotif kembali memuncak setelah penasihat perdagangan utama Donald Trump, Peter Navarro, secara terbuka menyindir CEO Tesla, Elon Musk. Bukan sebagai pengusaha inovatif, Navarro menyebut Musk hanyalah seorang “perakit mobil”, bukan produsen sejati. Hal ini muncul usai Musk menyerukan terciptanya zona perdagangan bebas tarif antara Amerika Serikat dan Eropa, gagasan yang ditolak keras oleh sebagian kalangan Gedung Putih.

Navarro, yang dikenal sebagai otak di balik kebijakan tarif Trump, menuding Musk hanya ingin memanfaatkan komponen asing murah untuk merakit kendaraannya. Menurutnya, komponen Tesla lebih banyak berasal dari Asia, sementara pemerintah ingin semua dibuat di Amerika—dari ban di Akron hingga mesin di Flint. Kritik itu pun langsung dibalas Musk dengan pernyataan tajam di media sosial. Ia menyebut Navarro “lebih bodoh dari sekarung batu bata” dan menegaskan bahwa mobil Tesla adalah yang paling banyak diproduksi di AS.

Faktanya, data produksi Tesla mendukung klaim Musk. Mobil seperti Model 3 hingga Cybertruck menggunakan kandungan lokal hingga lebih dari 80 persen, menjadikan Tesla salah satu produsen mobil paling “Amerika”. Meskipun demikian, keberadaan Tesla yang kuat di dalam negeri tetap tak menyelamatkannya dari perdebatan politis. Musk dan Navarro kini berdiri di garis berseberangan dalam isu tarif, mempertegas bahwa dalam dunia otomotif, politik bisa jadi mesin konflik yang tak pernah padam.

Tarif Baru Trump: Industri Otomotif Dunia Terancam Krisis Besar

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengumumkan pengenaan tarif 25% untuk impor mobil pada Kamis, yang langsung mengguncang industri otomotif global. Kebijakan ini diperkirakan akan meningkatkan harga kendaraan secara signifikan, sementara dealer mobil di berbagai negara mulai memperingatkan potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam skala besar. Tarif tersebut merupakan langkah awal dari serangkaian kebijakan perdagangan baru yang akan diberlakukan pekan depan. Analis dari Barclays menyebut langkah ini sebagai kebijakan yang lebih keras dari perkiraan, di mana dampaknya tidak hanya dirasakan oleh Amerika Serikat, tetapi juga negara-negara pengekspor mobil utama seperti Jepang, Korea Selatan, Jerman, Kanada, dan Meksiko.

Volkswagen dalam pernyataannya menyebut kebijakan ini akan memberikan dampak negatif pada rantai pasokan global, dengan pelanggan yang harus menanggung kenaikan harga. Sementara itu, kelompok pendukung Trump, seperti Serikat Pekerja Otomotif AS, mendukung kebijakan ini dengan harapan dapat meningkatkan produksi dalam negeri, meskipun diakui bahwa transisi ini akan memakan waktu bertahun-tahun. American Automotive Policy Council (AAPC) juga menyatakan komitmennya terhadap visi Trump, tetapi menekankan bahwa kebijakan tersebut sebaiknya tidak membebani konsumen dengan lonjakan harga kendaraan.

Dampak dari kebijakan ini telah mengguncang pasar saham, di mana saham General Motors merosot hingga 7%, sementara Ford Motor dan Stellantis mengalami penurunan 3%. Perusahaan otomotif Eropa, termasuk Volkswagen, BMW, Mercedes-Benz, dan Porsche, kehilangan nilai pasar hingga 5,5 miliar euro dalam sehari. Beberapa produsen mobil, seperti Volvo, Audi, dan Hyundai, mempertimbangkan untuk memindahkan sebagian produksi mereka ke AS, sementara Ferrari berencana menaikkan harga mobilnya hingga 10%. Selain itu, laporan dari Cox Automotive memperkirakan gangguan produksi kendaraan di Amerika Utara dapat mencapai 20.000 unit per hari pada pertengahan April.

Tidak hanya itu, firma konsultan Anderson Economics Group (AEG) memperingatkan bahwa kebijakan tarif ini bisa memicu gelombang PHK besar-besaran, terutama di Amerika Utara. Kanada dan Meksiko, yang memiliki hubungan dagang erat dengan AS, diperkirakan akan mengalami dampak paling parah. Kepala pabrik Unifor 88 di Kanada bahkan memperkirakan bahwa industri otomotif di negaranya bisa mengalami penutupan dalam beberapa minggu jika tarif ini tetap diberlakukan.